Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai garis kemiskinan (GK) pada September 2022 naik sebesar 5,95% dibandingkan Maret 2022, dari semula Rp 505.469 menjadi sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan. Ini adalah kenaikan tertinggi dalam 9 tahun terakhir.

"Peningkatan garis kemiskinan di September 2022 sebesar 5,95%, ini merupakan peningkatan tertinggi dalam 9 tahun terakhir tepatnya sejak September 2013. Saat itu GK naik 6,84% pasca kenaikan harga BBM," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono, dikutip Kamis (19/1/2023).

Namun, patut diketahui, Garis Kemiskinan (GK) merupakan suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Kenaikan harga eceran komoditas pokok ini, tentunya berpengaruh terhadap jumlah pengeluaran masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Ini erat kaitannya dengan GK.

Jika dihitung dari besaran GK Rp 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari masuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Ini artinya, warga negara Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp 535.547 per kapita masuk kategori tidak mampu.

Dari data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang per September 2022. Angka ini naik naik sebesar 0,20 juta orang.

Menurut BPS, kenaikan tingkat kemiskinan selama periode Maret hingga September 2022 disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebagai catatan, BBM dan beras merupakan komoditas yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Penduduk miskin memang tidak memiliki kendaraan. Tetapi kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga pangan.

"Jadi sekali lagi penyesuaian harga BBM itu berdampak pada harga-harga yang harus dibayar oleh kelompok penduduk miskin dan ini berpengaruh pada daya beli penduduk miskin," ujar Margo.

Foto: Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

Adapun, dalam laporannya, BPS mencatat peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Dimana Garis Kemiskinan Makanan (GKM) memberikan kontribusi terhadap total garis kemiskinan sebesar Rp 397.125 (74,15%), sedangkan kontribusi Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) hanya sebesar Rp 138.422 (25,85%).

Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan September 2022 baik di perkotaan maupun di pedesaan, pada umumnya hampir sama. Beras masih memberi sumbangan terbesar yakni sebesar 18,98% di perkotaan dan 22,96% di pedesaan.

Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) menetapkan basis perhitungan baru dari garis kemiskinan ekstrem. Basis GK tersebut berubah menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp 15.230 per US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di US$ 1,90.

Bank Dunia juga mengubah ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) serta kelas berpenghasilan menengah ke atas (upper- middle income class).

Foto: Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan: (1) Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Desember 2022, (2) Profil Kemiskinan di Indonesia September 2022, dan (3) Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2022. (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

Batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi US$ 3,65 atau Rp 55.590. per orang per hari dari sebelumnya US$ 3,20 atau Rp 48.740. Sementara itu, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi US$ 6,85 atau Rp 104.325 per hari dari sebelumnya US$ 5,50 atau Rp 83.675 per hari.

Menurut hitungan baru Bank Dunia tersebut, setidaknya ada 13 juta warga Indonesia yang turun kelas dari kelas berpenghasilan menengah ke bawah ke kelompok miskin. Jumlah warga miskin Indonesia meningkat menjadi 67 juta berdasarkan PPP 2017 dari 54 juta menurut PPP 2011.

Jika menggunakan batas kelas menengah ke atas, maka jumlah warga miskin Indonesia akan bertambah 27 juta menjadi 168 juta.

Saksikan video di bawah ini:

Video: Strategi Kemenko PMK Atasi Stunting Hingga Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan. Itu merupakan batas pengeluaran untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak.

Plt Sekretaris Utama BPS Imam Machdi mengatakan terjadi kenaikan garis kemiskinan sebesar 5,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu dikarenakan pengaruh dari kenaikan harga komoditas pokok yang banyak dikonsumsi oleh orang miskin.

"Garis kemiskinan pada Maret 2024 sebesar Rp 582.932 atau naik 5,90% dibandingkan Maret 2023," kata Imam dalam konferensi pers, Senin (1/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika dilihat lebih rinci lagi, garis kemiskinan di perkotaan mencapai Rp 601.871 per kapita per bulan. Batas tersebut lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan di perdesaan yang sebesar Rp 556.874 per kapita per bulan.

"Jika dilihat perubahannya, kenaikan garis kemiskinan perkotaan dari Maret 2023 ke Maret 2024 yaitu sebesar 5,72%, atau lebih rendah dari kenaikan garis kemiskinan perdesaan," ucap Imam.

Secara rata-rata, garis kemiskinan per rumah tangga pada Maret 2024 sebesar Rp 2.786.415 per bulan. Ini merupakan rata-rata minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak dikategorikan miskin.

Penduduk dikategorikan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM).

Berdasarkan komponen pembentuknya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Peranan komoditas makanan mencapai 74,44%, sementara komoditas bukan makanan sebesar 25,56% terhadap garis kemiskinan.

Komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan yakni beras; rokok kretek filter; daging ayam ras; telur ayam ras; mie instan; gula pasir dan seterusnya. Sementara komoditas bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar adalah perumahan; bensin; listrik; pendidikan; perlengkapan mandi; perawatan kulit (muka, kuku dan rambut); sabun cuci; serta pakaian jadi perempuan dewasa.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia bertambah menjadi 26,36 juta penduduk pada September 2022.

Rasio penduduk miskin berkisar 9,57 persen pada September 2022 atau naik 0,03 persen dibandingkan Maret 2022.

"Angka ini naik 0,20 juta terhadap Maret 2022, tetapi menurun 0,14 juta terhadap September 2021," ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (16/1/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan daerah tempat tinggal, jumlah penduduk miskin perkotaan naik 0,16 juta. Sedangkan di pedesaan naik 0,04 juta orang.

Secara persentase, kemiskinan di perkotaan naik dari 7,5 persen menjadi 7,53 persen. Sementara itu, di pedesaan naik dari 12,29 persen menjadi 12,36 persen.

Berdasarkan sebaran pulau, lanjut Margo, penduduk miskin tertinggi berada di Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebanyak 20,1 persen. Sedangkan, orang miskin paling sedikit ada di Pulau Kalimantan, yakni 5,9 persen.

"Dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa sebanyak 13,94 juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin terendah di Pulau Kalimantan 0,99 juta orang," jelasnya.

Adapun, garis kemiskinan September 2022 sebesar Rp535.537 per kapita per bulan. Bila dibandingkan dengan Maret 2022, garis kemiskinan ini naik 5,95 persen. Namun, jika dibandingkan dengan September 2021, kenaikannya mencapai 10,16 persen.

Garis kemiskinan adalah nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.

Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Sementara itu, garis kemiskinan per rumah tangga adalah gambaran besarnya nilai rata-rata rupiah minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya.

Secara rata-rata, garis kemiskinan per rumah tangga pada September 2022 adalah sebesar Rp2.324.274 per bulan atau turun sebesar 2,99 persen dibandingkan kondisi Maret 2022 yang sebesar Rp2.395.923 per bulan.

Background: The number of smokers in Indonesia is ranked third in the world and the highest in ASEAN. The estimated number of deaths due to smoke from the 2004 Susenas data was 399,800 people equivalent to total economic loss of IDR 154.84 trillion (U.S. $ 17.2 billion), or 4.5 times as much as the tax equivalents in 2005 (IDR 32.6 trillion). Indonesia has not yet ratified the Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) but has issued various regulations related to tobacco control and the dangers of smoking. Cigarette consumption by poor households is high enough. This affects not only the consumption patterns of the households but also the health of the family. Objective: To obtain a description of poor households’ health cost burden, patterns and factors that affect cigarette consumption by poor households in Indonesia in 2007 and to set the agenda of public health protection policies of the dangers of smoking. Methods: The data used were the secondary data from the study of the Indonesia Family Life Survey (IFLS) conducted in 2007 covering 13 provinces, 13,995 households and 50,580 individual samples. Results and Discussion: A total of 35.71% of poor households had a habit of smoking, and the types of cigarettes were factory-made cigarettes and home-made cigarettes (81.81% and 29.19%, respectively). The average cigarettes consumed were 9.72 bars per day. The average age of initiating to smoke was 18.89 years and 93.20% of poor households were still smoking up to this survey. Compared to the total expenditure of poor households, the average expenditure of cigarettes a month was IDR 86,496.96 (13.13%), while health expenditure was only IDR 7,440.87 (1.13%). The low expenditure on health, among others, were due to the presence of Jamkesmas that covered 51.48%. Cigarette demand model with multiple regression analysis showed that the price of cigarettes, per capita expenditure, food expenditure, and the age of initial smoking affected cigarette consumption. Conclusions and suggestions: To make the policy of public protection on the dangers of smoking effective, the government should immediately formulate policy agendas: 1) increase cigarette tax as high as 50% of the price of cigarettes, 2) regulate restrictions on smoking areas in public places, 3) promote and campaign the dangers of smoking to health, especially for adolescents, including restrictions on cigarette advertising on various media 4) continue policy for cigarette tax revenue in all regions and increase allocation of funds for health, 5) facilitate the development of nicotine replacement treatments and make people easier to get the products, and 6) initiate to develop a Jamkesmas discourse that requires the poor households to maintain their health care such as not to smoke. It needs to further develop the understanding on public protection policy agenda against the dangers of smoking that consists of perceiving public problem, defining the problem and raising support for making this public issue become the the government agenda.